468x60 Ads

Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image >

Misteri Makam Penyanyi Mesir Kuno Terkuak

0 komentar

Kuburan kuno yang usianya diperkirakan 3.000 tahun ditemukan di Lembah Para Raja Mesir. Kuburan itu diduga milik penyanyi wanita pada masa kerajaan Mesir Kuno, Nehmes Bastet.

Menteri Purbakala Mesir, Mohammed Ibrahim pada Minggu kemarin mengatakan kuburan milik Nehmes Bastet ini ditemukan secara tidak sengaja oleh arkeolog Swiss.

Sebuah prasasti kayu ditemukan pada makam itu. Prasasti itu menunjukkan bahwa kuburan itu merupakan tempat peristirahatan putri Imam Besar Amon dan dulunya bernyanyi untuk pemujaan dewa tertinggi Amon Ra selama Dinasti ke-22, yang memerintah antara 945 SM dan 712 SM.

Nama "Bastet" mengacu pada seorang dewi kucing dalam agama Mesir kuno dan menunjukkan bahwa penyanyi itu dianggap dilindungi oleh dewa itu.

Pada tahun 1922, juga ditemukan topeng emas Tutankhamun di Lembah Raja Luxor. Hingga saat ini masih ditemukan makam dan benda-benda yang terkait dengan keluarga kerajaan Mesir Kuno.

Penemuan makam Bustet ini sangat penting. Karena menguak fakta baru. Selama ini, kompleks ini dianggap sebagai pemakaman para raja. Namun, dengan penemuan makam Bustet ini, menunjukkan tempat ini juga digunakan untuk makam orang biasa. "Menunjukkan bahwa di Lembah Para Raja juga digunakan untuk pemakaman orang biasa selain untuk pemakaman imam dari Dinasti ke-22," kata Mohammed Ibrahim.

Selain penemuan ini, juga ditemukan Peti mati ke-64. Kemungkinan peti mati itu akan dibuka pada akhir pekan ini

Gajah Sumatera Punah 30 Tahun ke Depan

0 komentar

Menurut kelompok pecinta lingkungan World Wildlife Fund, gajah Sumatera akan punah dari alam bebas dalam 30 tahun ke depan. Kepunahan ini tak terelakkan, kecuali jika ada langkah signifikan yang dilakukan untuk melindungi habitat mereka yang musnah secara cepat.

International Union for Conservation of Nature (IUCN), lembaga pemeringkat status spesies-spesies makhluk hidup sendiri telah menaikkan peringkat gajah Sumatera dari ‘endangered’ menjadi ‘critically endangered’ setelah hampir 70 persen habitat dan separuh populasi gajah tersebut musnah hanya dalam satu generasi saja.

Penyebab utamanya adalah penebangan hutan yang menjadi habitat gajah dan konversi hutan menjadi lahan pertanian. Praktik serupa yang dilakukan oleh manusia di Sumatera telah menyebabkan musnahnya spesies harimau Sumatera dan badak Jawa.

“Gajah Sumatera masuk ke daftar spesies hewan Indonesia yang sangat terancam punah. Daftar yang terus membengkak ini mencakup juga orang utan Sumatera, badak Jawa dan Sumatera, serta harimau Sumatera,” kata Carlos Drews, Director of Global Species Programme WWF, dikutip dari Reuters, Rabu 25 Januari 2012.

Jika tidak ada tindakan konservasi efektif yang dilakukan, menurut Drews, hewan mengagumkan ini kemungkinan akan punah dalam masa hidup manusia.

Saat ini, diperkirakan hanya tersisa 2.400 hingga 2.800 ekor gajah Sumatera yang hidup di alam bebas. Jumlah ini turun 50 persen dibandingkan dengan perkiraan 1985. Menurut peneliti, jika tren ini berlanjut, mereka akan habis tak sampai 30 tahun ke depan.

Untuk itu, WWF meminta pemerintah Indonesia melarang seluruh upaya konversi hutan yang menjadi habitat gajah sampai strategi konservasi untuk menyelamatkan gajah Sumatera ditetapkan.

tugas tik ibrahim :Roster-lat 18

1 komentar

Download di sini

Mirip Manusia, Amuba Juga Bertani

0 komentar

           Pertanian adalah salah satu kunci peradaban manusia berkembang. Tapi amuba juga bertani

      Bertani atau bercocok tanam merupakan salah satu kunci evolusi peradaban manusia. Namun tak disangka, amuba, hewan bersel satu, juga melakukan praktik serupa.

Adalah sekelompok peneliti di Texas, Amerika Serikat, menemukan secara tak sengaja sejumlah amuba melakukan ini. Amuba jenis Dictyostelium discoideum ini ketahuan bertani bakteri saat bersama-sama puluhan ribu amuba lainnya membentuk gumpalan multisel untuk berpindah dan membawa sejumlah bakteri bersama mereka.

Dalam riset yang dilansir Nature1, Rabu 19 Januari 2011 itu, bakteri yang dibawa itu kemudian dibiarkan berkembang biak di gumpalan mereka. Mereka mengutamakan memakan bakteri yang ditemui di sepanjang jalan dulu. Jika sudah tak ada yang bisa dimakan, barulah "hasil pertanian" mereka yang menjadi sasaran.

Debra Brock, biolog molekuler dari Universitas Rice, Houston, yang memimpin riset itu menyatakan awalnya para peneliti berpikir para amuba ini semata hidup dari berburu bakteri. Namun, mereka menemukan kira-kira sebagian dari amuba yang mereka teliti ketika disodorkan makanan berhenti makan duluan dan memilih "menyelamatkan" bakteri di bagian reproduksi mereka.

Namun, para amuba petani ini memiliki kerugian sendiri ketika berada di lokasi yang penuh makanan. Mereka kurang aktif menghasilkan keturunan karena memilih tak memakan bakteri yang mereka temukan. Mereka kalah oleh waktu.

Selain itu, para amuba petani juga bepergian lebih sedikit. Ini tentu karena pertimbangan mereka memiliki persediaan makanan cadangan, jadi untuk apa pergi jauh-jauh mencari makanan.

Michael Purugganan, biolog dari New York University, melihat perangai Dictyostelium ini mirip dengan manusia yang cenderung untuk menetap. "Mereka sedikit bermigrasi karena mereka bertani? Ini terdengar seperti yang terjadi pada manusia ketika pertanian dimulai," katanya.